Awal Mula (2)

TANTANGAN FIKSI : DESKRIPSI

Rumah sudah jadi ilusi rinduku. Aku tak tahu pasti, apakah aku benar-benar rindu ataukah hanya rasa sungkan yang membuatku tetap mengunjungi rumah ini. Bisa jadi karena tak kutemukan yang paling mungkin lagi disebut rumah selain tempat ini.

Dulu sewaktu masih SD, aku sangat ingin tinggal dan menetap di sini, selamanya, seumur hidup. Setiap kali libur lebaran atau sekolah, aku selalu minta pada ibu untuk menghabiskan waktu di sini. Bisa dua minggu, bahkan pernah satu bulan di era presiden Gus Dur. Tidak seperti libur sekolah zaman sekarang, paling lama cuma dua minggu.

Masih jelas dalam ingatanku, tangisan-tangisanku setiap kali rindu dengan rumah ini. Dulu tahun 90-an, handphone hanya terjangkau oleh orang-orang super kaya. Meski modelnya hitam, berat, macam ulekan berbentuk kotak, tapi jadi barang mewah kala itu. Satu-satunya cara untuk meretas rindu hanyalah dengan menulis surat. Aku begitu rajin menulis surat untuk saudaraku di kampung. Dan, setiap kali Pak (tukang) Pos lewat, selalu kuiintip dari balik pagar, berharap ia berhenti dan membawa surat balasan untukku. Ah, Pak Pos bersepeda ontel yang sekarang cuma bisa dilihat di film-film dengan setting jadul. Ikut kurindu kedatangannya, karena dia malaikat pembawa surat-surat itu.

Masih kuingat pula, tangisanku setiap kali Ibu menarik dan menggendongku naik truk desa. Truk besar dengan bak terbuka berwarna kuning. Kenapa hampir semua truk berwarna kuning? Ah, buat apa juga kutanyakan itu. Kalau aku naik itu, tandanya aku harus pergi, kembali ke kota Surabaya. Tinggal di tempat asing lagi, merasakan sepi, kembali diiris-iris rindu. Aku sampai pernah pura-pura sakit gigi, biar tak jadi dibawa pergi. Paling tidak, bisa mengulur waktu agar aku bisa tinggal lebih lama. Tapi, ternyata cuma bisa mengulur sehari saja. Aku tetap saja dibawa pergi. Meski meronta-ronta tangisanku, tubuhku juga menolak untuk diajak, tetap saja aku digendong naik truk yang kadang mengangkat manusia, kadang mengangkut sapi, kayu, padi, apa pun yang bisa diangkut. Dan aku begitu benci dengan tubuh kecilku yang tak berdaya.

Tapi itu dulu, keinginanku untuk tinggal di kampung hanya bertahan sampai kelas 2 SMP. Entah karena bosan berharap, bosan merengek pada ibuku atau aku juga sudah terbiasa dengan keramaian kota. Aku mulai membangun rencana masa depan di kota besar, kalau perlu di Eropa. Asal tidak tinggal di kampung, di rumah yang hanya berwarna coklat kayu dengan gradasinya, tanpa warna lain. Seperti itu juga kehidupannya, satu warna tanpa punya cerita lain, tanpa punya impian yang lebih besar, tanpa punya masa depan yang lebih menjanjikan.

Apalagi setelah pohon sawo di pekarangan samping rumah ditebang. Pohon sawo yang umurnya hampir sama dengan rumah itu. Ia bahkan lebih punya kemampuan membesar, berbunga, berbuah. Lebih punya warna dan masa depan. Ah, bahkan pohon sawo itu menghidupi penghuni rumah ini. Tapi entah kenapa suatu hari, saat aku pulang, sudah tak nampak lagi pohon itu. Sudah berganti dengan kandang kambing.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana pohon yang tingginya mencapai 10 meter dengan cabang dan ranting menjulang itu bisa dihabisi. Batang pokoknya seukuran badan gajah. Tak bisa dipeluk bahkan oleh orang dewasa. Cabang paling bawahnya, bisa dibuat tiduran, kakak sepupuku memasang papan kayu agar bisa rebahan di situ. Biar kata aku tak pandai memanjat pohon, aku sering tiduran di batang itu. Sepoi anginnya sangat menyejukkan, tanpa perlu AC, di tengah terik pun tak membuat kepanasan.

Dan yang paling masyur dari pohon itu adalah buahnya. Ini bukan sawo kecil yang cuma sekepalan tangan bocah. Buah sawo ini bisa sekepalan tinju orang dewasa, bahkan bisa sebola kasti, hanya bentuknya lebih lonjong. Rasanya, bukan cuma enak, tapi wueenak buanget kalau kata anak jaman now, enak bingitz! Manisnya macam madu. Kalau buah itu dibelah, nampak daging buah berwarna coklat muda, mulus dan mengkilap. Terasa ingin menjilatinya sebelum menggigitnya.

Nenek atau pun Budheku sering memilih yang besar-besar dan bagus, mengimbunya untukku. Kalau tidak begitu, aku takkan kebagian. Bisa sudah habis karena dijual atau dinikmati keluarga dan para tetangga sekitar. Nenek dan Budheku itu nggak tega kalau aku cuma dapat sawo yang kurang besar, aku harus diberi sawo yang paling baik. Ah, anak kota yang dikasihani. Katanya, “Bocah iki ora mesti mulih pas sawone panen, ora mesti biso ngunduh saben dino. Yen mulih pas sawone panen, yo diumani sawo sing gedhi tur legi.” Tahu kalian artinya? Aku tidak akan menerjemahkan, silakan tanya Mbah Google atau Simbah di kampung.

Pohon sawo itu menaungi rumah-rumah di sekitar, ia jadi primadona. Setiap orang lewat selalu melihatnya dan mengungkapkan kekaguman akan pohon dan buahnya. Ada juga yang mampir, minta ijin untuk mengambil satu atau dua untuk istrinya yang ngidam atau anaknya yang ngiler ingin makan sawo. Seluruh desa itu pernah mencicipinya. Ada yang membeli, ada yang dikasih cuma-cuma, bahkan ada yang memunguti buahnya saat jatuh. Dan nenekku tak pernah melarang siapa pun untuk ikut menikmatinya. Anehnya, pohon itu seakan tak pernah habis buahnya. Tumbuh lagi dan tumbuh lagi. Mungkin itulah berkah, dirawat dengan cinta, dipuji dan disyukurk, dibagikan tanpa perhitungan, maka akan terus memberi tak putus.

Tapi di kampung dulu, orang juga tak serakah dan beringas macam sekarang. Tak ada yang namanya nyolong. Kalau mau ambil, bilang dulu sama si pemilik. Kalau diberi ijin mengambil sendiri, juga tahu diri. Mereka mengambil seperlunya, dua atau tiga. Tidak memanfaatkan kebaikan orang, lalu menjarah. Kalau sedang panen, tetangga sekitar selalu mendapat jatah. Keluarga kami membagikan rata dari rumah ke rumah. Mereka yang lewat dan melihat sawo bertumpuk-tumpuk, tak dibiarkan berlalu dengan tangan hampa. Paling tidak, satu diberinya.

“Kalau banyak yang dibagikan, yang dijual sedikit dong, Nek. Kapan kita kaya kalau begitu, Nek … Nek! Sawo ini lebih banyak yang dikasihkan orang daripada yang dijual.” Keluh sepupuku yang bungsu.

“Le, hidup itu nggak cuma soal jual beli dan kekayaan yang mesti diperhitungkan. Tapi kebersamaan, tepo seliro harus diutamakan. Kamu panen sawo, menikmati enaknya, tapi tetanggamu cuma bisa nonton. Orang-orang lewat cuma bisa lihat, nggak bisa makan. Kamu bisa kaya, tapi sekelilingmu lapar, apa kamu bangga dan bisa bahagia? Pohon sawo ini bukan punya kita, Le. Ini cuma titipan, kita diamanahi oleh Allah. Pohon ini, bukan untuk diri sendiri. Tapi untuk semua yang dapat menjangkaunya, prinsip khalifah, Le. Kamu harus ingat itu.”

“Khalifah kuwi apa to, Nek?” tanya kakak sepupuku yang dari tadi melongo mendengar petuah Nenek.

“Nanti tak jelasin. Sekarang, kamu cuci sawo-sawo ini. Masih banyak pekerjaan. Jangan lupa, sisihkan lima, buat Pak Dhemu dan antarkan ke rumahnya nanti.”

Nenek lalu beranjak, meneruskan pekerjaannya menjemur sawo yang sudah dicuci sambil melantunkan kidung Jawa.

#ODOPKELASFIKSIBATCH5

13 thoughts on “Awal Mula (2)

Add yours

Leave a reply to sangkila Cancel reply

Blog at WordPress.com.

Up ↑