Awal Mula (1)

TANTANGAN FIKSI : DESKRIPSI

………………………………………………….

“Kapan kamu pulang ke rumah?” Pertanyaan yang tidak pernah alpa setiap kali kuterima telepon dari keluarga Jogja.

Rumah yang disebut itu adalah bangunan tua berumur empat puluhan tahun. Tidak setua bangunan kuno Belanda. Tapi rumah berdinding kayu dan bambu itu terlihat rapuh daripada bangunan Belanda paling kuno sekalipun. Sudah ada banyak rongga di pintunya, ulah rayap beringas bertahun-tahun lamanya. Beberapa genteng juga merosot. Kalau siang terik, tanpa lampu pun, di dalam masih terang. Ada cahaya dari langit menerobos melalui celah-celah genteng. Membentuk bulatan-bulatan putih di tanah.

Ya tanah, tidak ada keramik di dalam bangunan itu. Masih beralas tanah. Tidak seperti rumah di kota yang harus mencopot sandal ketika masuk rumah, menjaga agar keramiknya tetap bersih kinclong. Di dalam rumah itu, semua orang memakai sandal jepit seharga delapan ribu rupiah. Meski begitu cukup awet dipakai sampai setahun.

Alas yang masih dari tanah itu juga menguntungkan kala musim hujan. Tetesan air dari celah atap yang bocor, langsung meresap ke dalam tanah. Tidak perlu repot-repot mengepel. Kalau hujan reda, nanti juga kering sendiri. Untungnya tidak pernah ada kejadian banjir di dalam rumah.

Dan tanah di dalam rumah itu sudah siap menyerap apa saja yang ditumpahkan ke padanya, nyaris tanpa bekas. Sisa air putih dalam gelas, sering hanya ditumpahkan begitu saja ke tanah. Tidak hanya itu, air teh, kopi, susu bahkan orang-orang tua yang nginang, juga kadang meludah begitu saja di salah satu sudut rumah. Meninggalkan bercak-bercak merah bata, seperti bekas usang darah.

Apa cuma itu? Tidak.

Kamar mandi di kampung tidak jadi satu dengan bangunan rumah utama. Bisa di depan, di samping atau di belakang rumah utama. Untuk ke WC harus keluar rumah dulu. Kalau matahari masih terang, tentu tak masalah. Tapi kalau kebelet saat petang apalagi tengah malam, siapa yang mau sendirian ke luar rumah dengan lampu remang-remang.

Di kampung tidak seperti di kota kawan, lampu seperti barang mewah yang hanya ditaruh di tempat tertentu. Kalau pun dipasang lampu, belum tentu dinyalakan. Takut tagihannya naik walau cuma seribu-dua ribu rupiah, itu sangat berarti.

Aku lebih memilih menahan hingga pagi, kalau ingin buang air tengah malam. Memang aku penakut. Pikiranku sudah tak karuan kalau melihat gelap di sekeliling rumah. Seakan ada monster, nenek lampir, kuntilanak dan semua dedemit sedang berdiri, mendelik siap menerkamku. Kalau sudah tak tahan, aku bangunkan Budhe atau kakak sepupuku. Memintanya untuk menemani ke WC. Ah, betapa pengecutnya aku ini. Berani merantau ratusan kilometer, ke tengah kota garang sendirian. Tapi ke WC yang cuma satu meter dari pintu belakang rumah saja aku takut. Ternyata gelap dan terang lebih besar mempengaruhi psikologisku ketimbang jarak.

Itu kalau aku yang mau pipis tengah malam, tapi kalau ponakan perempuanku lain cerita. Bocah berumur lima tahun itu digiring untuk berjongkok dekat ruang pawon (dapur). Dan ia akan mengeluarkan air kencingnya yang melimpah. Menggenanglah air itu tapi tak lama segera lenyap, dihisap tanah.

Lengkaplah sudah apa yang diterima oleh tanah di dalam rumah itu. Tapi jangan kira rumah itu jadi bau, kotor dan kumuh. Bangunannya boleh tua dan nampak muram. Namun rumah itu selalu rapi, baunya tetap segar, aroma khas rumah kampung. Tidak ada penghuni yang sakit-sakitan, justru tubuhnya segar dengan kulit kuning langsat. Beda denganku yang meski tinggal di kota, di kontrakan bertembok, bercat hijau muda dan lantai keramik putih, tapi kulitku sudah seperti sawo tua.

Aneh memang. Mungkin tanah di rumah itu punya unsur yang menyerap segala macam bau, zat kimia atau racun apapun. Ia menyerap apapun yang ditumpahkan, lalu merubahnya jadi netral atau malah oksigen. Sebab rumah itu selalu terasa segar. Sesekali tercium aroma kayu jati dan bambu bercampur.

“Kamu jadi pulang hari apa? Dihabiskan sampai hari minggu sekalian.”

Mereka bertanya lagi kapan aku pulang. Kali ini bukan pulang ke rumah tua itu, tapi kembali ke Jakarta. Bukankah ini cukup membingungkan untukku? Saat aku di perantauan mereka menanyakan kapan aku pulang ke rumah kelahiranku. Tapi saat aku sudah di rumah itu, mereka bertanya lagi kapan aku pulang ke Jakarta.

Mungkin memang kemana pun manusia bisa pulang, tapi apakah lantas semua tempat pulang itu adalah rumahnya?

#ODOPkelas fiksibatch5

20 thoughts on “Awal Mula (1)

Add yours

Leave a reply to sangkila Cancel reply

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑