Kasih Putih (3)

Part 3 : Mewujudkan Impian Bersama

Variable paling penting untuk menjaga titik keseimbangan adalah jarak. Seperti menjaga agar segitiga tetap menjadi segitiga, maka jarak antara satu titik dengan titik lain haruslah proporsional. Tidak boleh lebih dekat atau lebih jauh, pun tak boleh melenceng. Seperti itulah Kinasih merasa harus menjaga titik keseimbangan segitiga. Dia tahu harus menjaga jaraknya di mana, di antara Ksatria dan calon pendampingnya.

…..

Sudah lama Kinasih ingin tidak terlalu intens berkomunikasi dengan Ksatria. Kembali dekatnya jarak diantara mereka justru membuat Kinasih tersiksa. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri bahwa masih ada rasa cinta yang besar kepada Ksatria. Sedangkan ia sadar, cinta itu sungguh telah terlarang. Ksatria sudah punya pacar dan mungkin tidak lama lagi akan segera menikah. Tiga tahun lalu, Kinasih memutuskan pindah ke Surabaya agar berjauhan dengan Ksatria. Tapi percuma saja, jarak dan waktu ternyata tidak cukup ampuh untuk membunuh cintanya.

Sayangnya, Ksatria tidak pernah betah berlama-lama tidak menghubungi Kinasih. Waktu mereka beda kota, Ksatria masih rajin berkirim kabar. Meski tidak terlalu intens, tapi paling tidak dua minggu sekali atau paling lama satu bulan selalu menghubungi Kinasih. Setelah Kinasih tinggal di Bekasi, paling tidak masih wilayah jakarta, Ia jadi lebih sering menghubungi Kinasi.

Na

Kinasih membaca pesan masuk dari whatsappnya. Pesan yang hanya memanggil seperti itu sudah pasti dari Ksatria. Kinasih selalu jengkel setiap kali Ksatria mengawali chatnya hanya dengan memanggil namanya. Kinasih jengkel karena ketika Kinasih membaca pesan yang hanya bertulis Na itu, seperti ia mendengar suara Ksatria yang memanggil. Seakan Ksatria sedang ada di depannya, memanggil lembut dan membuat hatinya seketika berdesir seperti kesetrum.

Kinasih berhenti sejenak menatap pesan itu, lalu menutup Wanya tanpa membalas. Kinasih ingin mengabaikannya, biar saja Ksatria menunggu balasan. Tapi, tidak langsung membalas pesan Ksatria justru membuat Kinasih terus memikirkan Ksatria. Pada akhirnya ia tidak bisa terlalu lama mengabaikan pesan itu.

Kinasih kemudian mengetik, Hai, ada apa?. “Ah, ini terlalu manis,” gumamnya. Kinasih menghapusnya dan kemudian hanya mengetik, Ya lalu mengirimnya. Kata-kata itu sangat singkat dan tak ramah. Tetapi bagi Ksatria, itu biasa. Ia sendiri sering hanya menggunakan kata-kata yang singkat dan seperlunya.

Gimana kabarmu, Na? Sekarang lagi di mana? tidak lama pesan Ksatria datang lagi.

So far so good. Aku masih di planet bumi. Belum dapet tiket pindah ke planet lain.

Haha … Sejak kapan Bekasi masuk teritori planet bumi? Eh, aku kepikir mau bikin project nih. Butuh kamu banget buat bisa jalanin ni project.

Jantung Kinasih seperti berhenti membaca pesan itu. “Kenapa kamu tak pernah membiarkanku pergi? Kenapa kamu selalu menarikku saat aku mau melangkah pergi?”

Kalau Ksatria sudah terpikir untuk menjalankan sebuah project, dia pasti serius dan itu penting. Biasanya project itu pasti akan menarik minat Kinasih dan memang hal yang disenangi Kinasih. Ksatria dan Kinasih punya pemikiran yang hampir sama tentang apa-apa yang penting untuk dilakukan dalam hidup ini. tetapi kali ini, Kinasih ingin bebas, bebas dari kutukan perasaanya. Ia ingin keluar dari lingkaran Ksatria, setidaknya mengurangi intensitas.

Na, kita ketemuan aja. Nanti aku jelasin lebih detail ke kamu. Pasti seru. Besok ke rumah ya, habis magrib. Chat Ksatria masuk lagi. 

Gila aja aku disuruh malem-malem ke BSD. Tidak manusiawi komandan. Protes Kinasih membalas.

Hehe, ya nanti nginep rumah juga gpp. Kan kamu belum ke rumah sejak di Jakarta. Nyokap nanyain terus.

Iya sih, tapi jangan malam-malam dong ndan. Ketemu di tengah-tengah aja ya.

Oke deh, kasihan orang planet jauh-jauh dateng. C u soon.

Kinasih menutup Wa-nya dan menaruh Hpnya di meja. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur, berharap pikiran dan perasaannya berhenti. Ia ingin kekosongan.

Keesokan harinya.

“Jadi ada project apa mister?” Tanya Kinasih seketika, setelah mereka berdua duduk.

“Baru juga duduk, pesen minum dulu deh. Mau makan apa?” Balas Ksatria menyela.

“Hmm … okay.” Kinasih pun menurut. Ia lalu memesan nasi goreng dan es lemon tea.

“Kalau gitu, aku pesen mie goreng. Nanti kita bisa tukeran,” kata Ksatria sambil nyengir.

Seperti biasanya, Ksatria selalu memesan menu yang berbeda agar bisa mencicipi makanan lain. Biasanya ia akan membagi seperempat atau sepertiga miliknya dan menukarnya dengan makanan Kinasih. Kadang jika Kinasih tak habis makanannya, Ksatria selalu mengambilnya dan menghabiskannya. Kinasih sangat menikmati pemandangan itu. Ksatria bisa makan dengan begitu lahap dan cepat, seakan semua makanan langsung ditelan tanpa dikunyah.

Kinasih lalu teringat, bagaimana mereka sering berbagi makanan sejak kuliah. Kadang juga ibu Ksatria sengaja menitipkan makanan untuk Kinasih. Dulu waktu kuliah, Kinasih sangat sering main ke rumah Ksatria. Itu membuatnya begitu akrab dengan Ibu Ksatria.

Pernah juga suatu hari Kinasih sakit, Ksatria yang membelikannya seporsi soto ayam dan mengantarkan ke kosannya tanpa diminta. Padahal hari itu hujan cukup lebat. Tetapi pernah juga Ksatria menyerobot begitu saja jus alpokat yang baru saja dibeli Kinasih, menghabiskannya tanpa rasa bersalah dan justru senyum-senyum. Ah, indah sekali saat-saat itu bersama ksatria.

“Oke, jadi begini…”

Kinasih tiba-tiba tersentak, sekilas bayangan masa lalu sempat membuatnya melayang dari bumi yang dipijaknya saat ini. Ksatria membangunkan lamunanya. Kinasih kembali ke dunia tempatnya berpijak saat ini. Dunia yang begitu perih untuknya.

“Kamu masih punya mimpi untuk membuat sekolah kan? Pasti iya, kita masih punya mimpi yang sama. Aku ingin mulai mewujudkannya. Itu nggak bisa dibuat dalam satu atau dua tahun. Mungkin butuh waktu lima atau bahkan sepuluh tahun. Kita tidak tahu, tapi kita harus memulainya sekarang. Jadi, aku ingin memulainya dari taman baca. Kita buat taman baca, seadanya dulu. Dengan beberapa buku, lalu kita mengajak teman-teman untuk menyumbangkan bukunya. Kita ajak anak-anak membaca di taman baca kita. nanti akan semakin banyak anak yang datang. kita bisa cari donatur, mengenalkan taman baca kita dan menyampaikan keinginan kita untuk mendirikan sekolah. Bagaimana?” Ksatria begitu lugas menjelaskan. Dia menjelaskan seperti sedang presentasi sebuah gagasan di depan forum terbatas.

“Wow … kamu tidak sedang nglindur kan mister?” Kinasih sedikit kaget dengan ide spontan itu, tapi juga antusias. “Mau mulai kapan?”

“Sekarang! Pulang dari sini, kita langsung aksi!” Ksatria bicara dengan nada mantab setengah berorasi macam komandan Pramuka.

“Siap, laksanakan!” Kali ini Kinasih membalas layaknya prajurit pramuka dengan tangan dalam posisi hormat.

Mereka lalu sama-sama menatap dan tertawa. Cita-cita membuat sekolah untuk anak-anak jalanan atau anak-anak yang kurang akses pendidikan adalah cita-cita mereka sejak kuliah. Beberapa kali mereka menjadi relawan di komunitas yang bergerak di bidang literasi dan pendidikan. Tapi setelah lulus, mereka fokus pada bidang kerjanya masing-masing. Mereka tak sempat membahas keinginan itu lagi. Terlebih setelah Kinasih pindah ke Surabaya, mereka bahkan jarang berkomunikasi. Tapi ternyata Ksatria tidak pernah lupa tentang itu dan diam-diam berjanji untuk suatu hari mewujudkannya.

Setelah merumuskan garis besar agenda yang harus mereka laksanakan untuk memulai project tersebut, mereka janji untuk saling berkabar tentang progress dan mengadakan pertemuan rutin. Paling lama, 2 minggu mereka harus ketemu lagi.

Dalam perjalanan pulang, Kinasih bingung apakah harus bahagia ataukah bersedih. Menjalankan project bersama Ksatria dan mewujudkan mimpi bersamanya adalah hal yang sangat luar biasa bagi Kinasih. “Bukankah ini cita-citamu, Kinasih? Bukankah ini yang sangat kamu inginkan sejak dulu?” kata Kinasih pada dirinya sendiri.

Tetapi bagi Kinasih ini adalah masalah lain. Bagaimana ia bisa menjaga perasaannya terhadap Ksatria. Situasi saat ini berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Ksatria sudah bersama wanita pilihannya dan tidak lama lagi akan menikah. Sedangkan hati Kinasih masih begitu dalam mencintai Ksatria. Dia berada dalam dilema antara cita-cita dan hatinya. Malam itu ia benamkan wajahnya di bawah bantal, membiarkan air matanya deras mengalir hingga ia tertidur.

 

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑