Minta Sunat Lagi

“Apa-apa mbak Eki!” begitu seringnya gerutu Adi. Biasanya anak sulung yang pencemburu, tapi tidak bagi Adi. Meski bungsu, ia merasa orang tuanya lebih perhatian pada Kakaknya.

Seperti saat Kakaknya dibelikan motor oleh orang tuanya, Adi sudah pasang wajah sewot. “Baru juga dibelikan motor second, besok aku beli motor gede! Kayak motor si Boy yang ada di pilem itu.”

Ibunya sudah berulang kali mencoba menjelaskan pada Adi, bahwa Kakaknya itu sudah SMK sehingga butuh motor apalagi sekolahnya jauh. Tapi, Adi kecil mana mau tahu dengan penjelasan orang tuanya. Dia hanya tahu kalau barang-barang Kakaknya lebih banyak dari dari yang dimilikinya. Uang jajan Kakaknya lebih banyak dari uang jajannya.

Setiap kali beli baju lebaran, Adi hanya mendapat jatah baju koko, celana dan sandal. Tetapi Kakaknya selalu dapat baju atasan, rok, sandal, jilbab, bedak, cologne dan lip ice. Adi pernah protes, “Lagi-lagi mbak Eki dapat lebih banyak, kan! Aku cuma dapat tiga macam, tapi mbak Eki dapat lima, eh … (sambil menghitung jari) tujuh!” Ibunya yang kesal cuma menanggapi, “Tak beliin tapi dipakek yo, jilbab, bedak, lipstik? Biar sama, mau?”

Suatu hari tiba waktu Adi disunat. Dia ikut acara Khitan Massal yang diselenggarakan salah satu yayasan di kampungnya. Adi sangat senang mengetahui dia akan disunat. “Besok aku sunat, yeee!” katanya pada teman-temannya. Menurut cerita yang ia dengar, sunat adalah tanda seorang laki-laki menjadi benar-benar laki.

Melihat Adi yang begitu bersemangat, temannya Candra bertanya, “Memang, kamu belum merasa jadi laki-laki?”

“Yo laki-laki! tapi kurang laki, le!” jawab Adi mantab. Candra cuma ngangguk-ngangguk tak paham.

Sesampainya di rumah setelah sunat, ia disambut Kakaknya dengan nada menggoda, “Gimana rasanya, Le? Sakit aja, apa sakit buanget? Hahaha…”

Sebagai adik laki-laki, pantang bagi Adi untuk mengeluh sakit di depan Kakaknya. “Ora loro blas le…. (Nggak sakit sama sekali) “ jawab Adi mantab. Saat disunat, Adi sama sekali tidak merasakan sakit, karena dibius lokal. Ia bahkan mengembangkan senyum bangga, merasa telah menjadi benar-benar laki. Meski bocah kelas 5 SD itu juga tak paham maksudnya.

Kebanggaannya semakin besar, saat menerima bingkisan dari ibunya. “Ini hadiahmu, Le,” kata Ibunya sambil menyodorkan sebuah bingkisan. Isinya adalah satu lembar uang seratus ribu rupiah, baju koko, sarung, peci dan sajadah. Ini baru laki! kata Adi dalam hati sambil cengar-cengir.

Tapi senyumnya tidak berlangsung lama, hanya berselang setengah jam setibanya di rumah, Adi mulai merasakan perih di bagian organ intimnya. Dia mulai merintih, “Aduh, Mamak… kok sakit Mamak. Aduh, Mamak. Aduh Mamak!” Adi nampak panik, berkeringat dan matanya mulai basah menahan sakit.

Ibunya segera memberi obat pereda rasa nyeri yang diberikan dokter dan menyuruh Adi untuk minum. Tidak lama kemudian, sakit yang dirasakan Adi mulai reda, meski masih sedikit perih. Menjadi laki-laki besar ternyata butuh pengorbanan yang menyakitkan, aku rapopo! Adi mencoba menyakinkan dirinya sendiri.

Keesokan harinya, sambil kipas-kipas dan menahan panas yang mendera tubuhnya, khususnya bagian organ intimnya, ada yang membuatnya lebih panas lagi. Hari itu adalah hari ulang tahun Kakaknya.  “Selamat ulang tahun ya, Nak!” Kata ibu Adi sambil memberikan sebuah selimut berwana pink kepada Kakak Adi.  Belum sempat Kakaknya menimpali, Adi sudah meluncurkan protes, “Lho, Mbak Eki kan sudah punya selimut, kok dibelikan selimut lagi!”

“Pengen yaa… bilang aja kalau iri! Hahaha…. ” balas Kakaknya dengan wajah meledek.

“Halah, cuma selimut pink jelek kayak gitu, harganya paling dua puluh ribu. Aku dikasih Mamak hadiah lebih banyak, uang seratus ribu, baju muslim, sarung, sajadah. Wek!” Sanggah Adi, tak mau kalah.

“Dari Mamak?? Itu bukan dari Mamak! Itu dikasih yayasan waktu kamu sunat kemaren!” Kakaknya menerangkan.

“Hah, jadi kemarin itu anuku ditukar sama uang dan baju? cuma dihargai segitu?” Mamakk!!! sakitnya kayak gini cuma buat uang seratus ribu!” Adi meluncurkan protes.

Tapi belum sempat Ibunya menimpali, Adi tiba-tiba mendapat inspirasi, disunat segitu saja dapat uang seratus ribu, kalau lebih….

“Mak, Mak, nggak bilang dari kemaren. Tahu gitu aku minta dipotong lebih banyak, biar dapet uangnya juga lebih banyak!” Kata Adi dengan penyesalan.

Pokoke, kalau nanti sudah nggak sakit, aku mau disunat lagi!

“Nanti kalau kesakitan lagi gimana, emang kuat?” tanya ibunya.

Hora popo! Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Ngono, Mamake!”

“Biyuh, bocah jaman now, sunat kok njaluk imbuh (minta tambah)!” gumam ibunya

 

 

#onedayonepost #odopbatch5 #Iniceritakomediku #pekan4day25

 

 

6 thoughts on “Minta Sunat Lagi

Add yours

  1. Adik sama kakak memang biasanya sering cemburu dan berantem ya. Dibeliin ini pengen, dibeliin itu pengen. hehehe

    Btw saya ada pengalaman sunat juga dulu, dan objek penderitanya itu saya sendiri. Jadi dulu saya sunat itu SMA, karena orang tua sibuk kerja dari pagi jam 7, pulang rumah jam 7 malam. Dari SD mau sunat batal melulu, waktu nggak terasa tahu2 sudah SMA. wkwkwk

    Saat itu saya sunat secara private, panggil dokter ke rumah, jadi ada dokter dan 2 perawat, dan orang tua dan kakak perempuan saya, yang menonton saya.

    Semua malah mengomentari bulu kemaluan saya yang lebat. Dan mungkin karena sedang puber, jadi penis saya ereksi saat perawat mencukur bulu kemaluan saya. Disana saya jadi bahan buli kakak saya dan orang tua, semua pada tertawa2, saat itu saya benar2 kesal, rasanya mau teriak.

    Ternyata waktu buat janji, dokter sudah bilang ke ibu saya untuk menyuruh saya cukur bulu kemaluan, dan ibu saya meminta kakak saya untuk mengingatkan, karena ibu saya pelupa, tapi kakak saya dengan sengaja tidak mengingatkan ibu saya. Dia baru menceritakan ke saya sesudah saya disunat, dan dia tertawa puas sekali.

    Sampai sekarang dia masih menjadikan kejadian ini sebagai bahan bercandaan saat kumpul keluarga besar.

    Like

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑